Tuesday, 14 August 2012

bingkisan kisah abu dzar al-gifari

assalamualikum pembuka bicara.....
salah seorg sahabat  sy yg tercinta (miss u ^_^ *pompuan) telah bercerita tentang ABU DZAR AL-GIFARI, x tau kenapa saya rase terpanggil utk mengetahui siapa sebenarnya beliau. dari satu kedai buku ke 1 kedai buku yg saya pegi, saya x jumpe pon buku tentang beliau. saya copy n paste di blog ini sebagai rujukan saya nnt. saya rasa amat dekat dgn kisah hidup beliau n sgt2 excited utk cari dan cari lagi siapa sebenarnya beliau. tidak terkenal dikalangan sahabt nabi tetapi ade kisah disebaliknya yg boleh dijadikan our guideline. seperti amr ibn al-jamuh dan kisah naelah yg pernah saya baca dahulu

selongkar identitynya :)
Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.

Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.

Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, "Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros," katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.

Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara' dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata "Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti." Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.

Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.

Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.

Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah SAW dengan ajaran Islam.

Abu Dzar segera menemui Rasulullah SAW. Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka'bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah SAW, tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.

Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.

Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.

Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah SAW ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu. [Tabloid MQ EDISI 4/TH.II/AGUSTUS 2001]



4 nasihat nabi kepdnya:
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. sesungguhnya beliau pernah bersabda kepada Jundub bin Junadah, yang bergelar Abu Dzar A-Ghifaari:



“Wahai, Abu Dzar, pugarlah kapalmu karena lautnya dalam, bawalah bekal sempurna karena perjalananmu jauh, peringanlah beban karena rintangan-rintangannya berat sekali, ikhlaskanlah amal karena sesungguhnya Yang Maha Meneliti, Maha Melihat.”

v Memugar disini dalam arti memperbaiki niat, agar semua perbuatan atau penghindaran melakukan perbuatan dapat berfungsi ibadah serta mendapat pahala guna keselamatan dari azab Allah.



Al-Imam Umar bin Khattab Al-Faruq mengirim surat kepada Abu Musa Al-Asy`ari. Semoga Allah meridhai mereka berdua. “Barang siapa niatnya tulus, maka Allah mencukupi keperluannya yang berada antara dia dan orang lain.”



Salim bin Abdullah bin Umar Al-Khattab mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz r.a. : “Ketahuilah wahai Umar, sesungguhnya pertolongan dari Allah kepada seorang hamba sesuai dengan kadar niatnya, barangsiapa yang niatnya tulus, maka pertolongan dari Allah sempurna baginya dan barangsiapa yang niatnya kurang, maka pertolongan dari Allah pun kurang baginya, sesuai dengan kadar niatnya itu.”



v Perjalanan jauh disini dimaksudkan dengan perjalanan menuju akherat

v Beban muatan adalah beban pertanggungjawaban urusan duniawi

v Ikhlaskanlah amal karena sesungguhnya Allah swt. Yang Maha Meneliti, meneliti secara cermat perbuatan baik buruk



Abu Sulaiman Ad-Darani berkata : “Kebahagiaan tetap bagi orang yang tidak melangkah satu langkah pun selain kepada Allah swt.”



Perkataan ini sesuai dengan sabda Nabi saw. :



“Ikhlaskanlah perbuatanmu, maka yang sedikit darinya akan mencukupi.”



Seorang penyair mengatakan :



“Wajib bertobat bagi manusia

Namun meninggalkan dosa-dosa lebih wajib

Sabar menghadapi musibah adalah berat

Tapi hilang pahala lebih berat

Perubahan dalam setiap zaman selalu aneh

Namun manusia lupa bahwa dirinya aneh

Setiap yang akan datang dekat

Namun maut lebih dekat dari itu.”



Diriwayatkan dari Anas, bahwa suatu hari Nabi saw. Keluar sambil memegang tangan Abi Dzar seraya bersabda:



“Wahai Abu Dzar, apakah kamu telah mengetahui bahwa sesungguhnya dihadapan kita terbentang suatu jalan dibukit yang sangat rumit, yang tidak akan dapat didaki selain oleh orang-orang yang meringankan bebannya” Seorang bertanya: “Wahai Rasulullah, Apakah aku ini tergolong orang-orang yang meringankan atau memberatkan bebannya?” Beliau bersabda: “Adakah engkau punya makanan hari ini?” Dia menjawab: “Ya punya.” Rasulullah saw. Bersabda : “Apakah engkau punya makanan untuk esok?” Dia menjawab: “Ya punya.” Rasulullah saw. Bersabda: “Apakah kamu punya makanan untuk besok lusa?” Dia menjawab: “Tidak punya.” Rasulullah mengatakan: “Andaikan engkau telah punya jatah makanan untuk tiga hari, maka engkau tergolong orang-orang yang memberatkan bebannya.”


KEBERANIAN ABU DZAR AL-GIFARI


Bani Ghifar adalah sebuah suku badui ditanah Arab yang terkenal akan kebuasannya dan sikap keras dalam pergaulan sehari hari. Banyak suku suku di Arab yang merasa enggan bila harus berurusan dengan bani Ghifar. Sering sekali bani Ghifar melakukan perampokan perampokan yang berujung pertumpahan darah. Mereka bermukim di lembah Waddan, sebuah daerah yang terletak antara Mekkah dan Syam. Lembah Waddan sering dilalui para saudagar dari Mekkah menuju Syam atau sebaliknya. Bila melalui daerah ini maka kaum saudagar harus extra hati hati karena tak berapa lama lagi bani Ghifar akan menyergap dengan kebuasaan yang tiada tandingnya.
Tapi dibalik cerita kelam akan keganasan dan kebar-baran sifat bani Ghifar ternyata mereka menyimpan sebuah kisah penuh inspirasi dari seseorang bernama Jundub bin Junadah Al ghifari. Kelak Jundub bin junadah akan lebih dikenal dengan nama Abu Dzar. Cerita bermula dari selentingan kabar yang sampai di telinga Abu Dzar tentang seseorang yang mengaku menerima wahyu dari langit yang tinggal di kota Mekkah. Merasa makin hari makin gelisah karena penasaran maka Abu Dzar mengutus adik kandungnya yang bernama Unais untuk mengumpulkan semua informasi tentang sosok lelaki yang mengaku sebagai nabi pembawa wahyu dari langit. Unais Al ghifari seseorang yang pandai dalam menggubah syair dan telah ratusan syair arab kuno berhasil dia hafal. Kepandaiannya ini sekaligus sebagai uji coba atas kepandaian seseorang di Mekkah yang disebut sebagai tukang syair oleh kaum kafir Quraisy. Memang begitulah kaum kafir Quraisy di Mekkah menyebut Rasulullah Muhammad SAW sebagai tukang syair, padahal yang ia bacakan adalah firman Allah yang berisi petunjuk hidup untuk mencapai kebahagiaan.
Beberapa minggu setelah diutusnya Unais maka datanglah ia dari kota Mekkah membawa kabar tentang Muhammad. Abu Dzar bertanya “ceritakan kepadaku tentang apa saja yang kamu lakukan di Mekkah?”
Unais menjawab : “Aku telah menjumpai seorang laki laki yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran”.
Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan penduduk Mekkah tentangnya ?”.
Unais menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang syair, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang syair, ternyata amat berbeda omongannya dengan bait-bait syair. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.
Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Kakbah dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Saat saat kritis tidak memiliki bekal itu datanglah seorang pemuda berperawakan kekar mengundangnya makan. Maka ikutlah Abu Dzar mengikuti pemuda tersebut yang ternyata Ali bin Abi Thalib r.a. keponakan Nabi tersebut melayani keperluan makan hingga Abu Dzar merasa kenyang. Merasa cocok dengan Ali dan melihat bahwa pemuda ini berakhlak mulia maka Abu Dzar berani menceritakan tentang keinginannya ingin bertemu dengan Nabi Muhammad. Tentu saja Ali merasa senang dengan maksud masuk islamnya Abu Dzar. Maka dipertemukanlah Abu Dzar dengan Rasulullah SAW dan saat itu juga Abu Dzar bersyahadat menyatakan diri masuk Islam. Selepas masuk Islam Rasulullah menasehati agar Abu Dzar kembali ke kaumnya dan berdakwah disana karena suasana kota Mekkah belum kondusif untuk menampakkan keislaman. Tapi Abu Dzar ingin sekali menyeru kepada penduduk Mekkah bahwa ia telah masuk islam dan ia tidak takut akan kebenaran yang diyakininya. Rasulullah mendiamkan saja. Abu Dzar keluar menemui orang orang di sudut kakbah dan menyeru mereka agar bersyahadat untuk memeluk agama yang hak yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad. Kaum Quraisy tidak terima akan perbuatan Abu Dzar dan sesaat kemudian bertubi tubi pukulan dan tendangan menghujani tubuh Abu dzar hingga pingsan sebelum akhirnya berhasil dicegah oleh Abbas bin Abdul Muttalib tokoh yang disegani oleh kaum Quraisy agar mereka tidak sampai membunuhnya karena Bani Ghifar akan menuntut balas kalau Abu Dzar sampai meninggal.
Beberapa hari berlalu dan Abu Dzar mengambil keputusan untuk kembali ke kaumnya dan melanjutkan dakwah ilal islam kepada kaumnya.


Abu Dzar Al-Ghifari sahabat Nabi yang zuhud 


SALAH seorang dari sahabat Nabi s.a.w. yang terkenal dan dikasihi baginda ialah Abu Dzar Al-Ghifari. Beliau berasal dari Kinanah dan dari keturunan Bani Ghifar. Sebelum ia masuk Islam kehidupannya terpencil dan merempat.

Semasa ia sampai di Mekah ia mendengar berita tentang Nabi s.a.w. lalu mendekati baginda, mendengar nasihat-nasihatnya dan akhirnya memeluk Islam. Abu Dzar tidak lama di Mekah kerana menyusul Nabi s.a.w ke Madinah.

Abu Dzar termasuk orang yang dicintai Rasulullah s.a.w. serta dipujinya dengan baik. Baginda pernah berkata, "Tidak ada orang di bawah langit dan di muka bumi yang ucapannya lebih benar daripada Abu Dzar."

Semasa zaman Khalifah Abu Bakar r.a., Khalifah Umar r.a. dan tahun-tahun pertama kekhalifahan Uthman r.a. ia tinggal di Madinah. Beliau juga termasuk sebagai orang yang berhak menerima ganjaran dari Baitulmal.

Apa yang menarik tentang Abu Dzar ialah beliau menjadi seorang pengkritik sosial yang berani terhadap pemerintah dan Khalifah tanpa rasa segan dan takut. Baginya rasa takut hanyalah kepada Allah s.w.t.. Khalifah Uthman dan Muawiyah Abu Suffian menjadi sasaran kritikan dan tegurannya secara terbuka. Lantaran itulah beliau tidak disenangi oleh Uthman r.a dan Muawiyah.

Tetapi kritikannya itu tidaklah membawa pada pemberontakan terhadap pemerintah, cuma sekadar penentangan terhadap amalan, dasar dan polisi kerajaan yang bagi beliau bercanggah dengan agama Islam.

Antara perkara yang menimbulkan kemarahannya ialah tindakan Khalifah Uthman r.a. memberi wang dalam jumlah yang banyak kepada Marwan bin Hakam dan adik Marwan bernama Harits bin Hakam sebanyak tiga ratus ribu dirham. Zaid bin Tsabit juga menerima wang sebanyak seratus ribu dirham.

Abu Dzar tidak dapat menerima pemberian-pemberian yang banyak itu dan mencela dasar yang dijalankan Khalifah. " Beritahukan orang-orang yang menimbunkan harta benda bahawa mereka itu kelak akan masuk neraka." Lalu ia membaca firman Allah s.w.t.: " Dan mereka yang menimbun emas dan perak, dan tidak menginfaqkannya ke jalan Allah s.w.t., maka beritahulah bahawa mereka itu akan memperoleh seksa yang amat pedih." (Al-Taubah 34).

Beliau tidak henti-henti memberi ucapan-ucapan mengkritik Uthman r.a. dan menuntut supaya Khalifah hidup secara hemat, sederhana dan menyatakan permusuhan terhadap perbuatan menimbun kekayaan. Menurut setengah riwayat, kehidupan Abu Dzar adalah dalam kemiskinan. Beliau menolak harta kekayaan, walaupun beliau mampu memperolehinya. Beliau hanya mempunyai dua pasang baju; satu untuk beribadat dan satu lagi untuk bekerja mencari rezeki.

Muawiyah Abu Suffian, Gabenor di Syria ialah antara orang yang dikecam hebat oleh Abu Dzar. Ia mengecam tindakan Muawiyah membangun istana "hadra" atau Istana Hijau. Dengan terus terang beliau berkata kepada Muawiyah, " Kalau engkau membangun istana itu dengan wang kaum muslimin, itu suatu pengkhianatan; tetapi kalau engkau membangunnya dengan wangmu sendiri, itu pemborosan."

Di mana saja ia selalu berkata, "Awas, orang-orang kaya akan mendapat bencana dari kaum fakir miskin !". Semakin hari banyak orang berhimpun mendengar ucapan-ucapannya sehingga menimbulkan kebimbangan Muawiyah akan terpengaruhnya penduduk Syria dengan propaganda Abu Dzar.

Lalu Muawiyah menulis surat pengaduan kepada Khalifah Uthman r.a. supaya diambil tindakan. Ada penulis riwayat mengatakan, Khalifah Uthman r.a. memerintahkan Abu Dzar keluar meninggalkan Madinah dan boleh tinggal di mana saja menurut kemahuannya, tetapi ia dilarang pergi ke Syria iaitu Kufah, Bashrah dan Mekah.

Tetapi Abu Dzar memilih Rabadzah, sebuah kawasan terpencil di tengah padang pasir. Ada riwayat mengatakan beliau diusir dan dibuang ke situ.

Semasa hayat Nabi s.a.w. baginda telah menyatakan pada Abu Dzar bahawa beliau berasal terasing dan terpencil, dan matinya juga dalam keadaan terpencil dan terasing. Benar seperti kata baginda, Abu Dzar telah wafat di padang pasir itu ditemani oleh isterinya tanpa seorang pun manusia disekelilingnya. Sehingga isterinya menangis bersedih kerana tiada siapa yang akan menguruskan mayat suaminya.

Tetapi takdir Allah s.w.t jenazahnya telah disempurnakan oleh serombongan penduduk Iraq yang sedang dalam perjalanan pulang setelah menunaikan ibadat haji.

Itulah Abu Dzar Al-Ghifari seorang sahabat yang dicintai Rasulullah s.a.w. dan beliau begitu taat dan kasih kepada baginda. Penentangannya terhadap Khalifah Uthman r.a. dan Muawiyah lebih bersifat kritikan politik dalam batas-batas tetap taat dan tidak memberontak terhadap khalifah.

" Seandainya Uthman r.a. hendak menyalibku di atas sebatang pohon kurma yang tinggi, aku tidak akan membangkang!", begitulah kata-kata Abu Dzar yang pernah beliau ucapkan.
 
 http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs101.snc4/35433_408878149015_266825394015_4666899_20922_n.jpg
 
 sungguh ak mencintai syurgamu.....ya rabb

No comments:

Post a Comment